Dikemas 07/10/2003 oleh Editor
Sungguh aku terperangah melihat sosok tadi siang masih terbaring di tengah lapangan. Aku yakin sekali sosok itu yang kulihat tadi siang memakai baju hijau berkotak-kotak dengan celana hitam. Sebenarnya bagiku bukan lantaran sosok itu masih terbaring sudah berjam-jam di tengah lapangan bola, melainkan wajah teduh dengan mata dan bibir yang terkatup rapat seakan-akan membias senyum itu mengingatkan aku pada seseorang yang pernah kulihat. Tapi siapa? Aku terus memutar otakku.
Orang-orang di sekelilingku sudah ribut mempertanyakan orang asing itu. Walaupun orang sudah ramai mengerumuninya, kebanyakan pemuda yang mau bermain sepak bola dan anak-anak serta beberapa orang pejalan kaki yang sedang lewat memotong lapangan, pria yang telentang itu sama sekali tidak terusik.
"Masya Allah, dia ... dia ... tokoh khayalan dalam cerpenku," kataku lirih. Aku terpaku tak percaya.
"Mas, bangun, bangun. Jangan tidur di lapangan!" seru salah seorang pemuda berkostum merah muda.
Pria itu tetap tak bergeming.
"Sudah mati kali!" celetuk seorang anak.
"Ah, nggak mungkin. Dadanya masih turun naik bernapas."
"Gila kali!" celetuk yang lain.
"Ah, nggak mungkin juga. Masa' orang gila pakaiannya rapi, ganteng lagi?!"
Karena penasaran aku maju ke depan dan berjongkok dekat kepalanya lalu kutepuk pelan pipinya.
"Mas, Mas, bangun!"
Perlahan kelopak matanya terbuka. Aku bangkit kembali dan bergabung dengan kerumunan orang-orang. Dia dengan tenangnya memandang kami, padahal kami keheranan menatapnya.
"Apa saya berada di Yogyakarta?" tanyanya tenang.
Orang-orang semakin ribut berbisik. Orang gilakah tidak sadar berada di mana?
"Mas dari mana?" tanyaku cepat.
"Dari surga!" sahutnya singkat yang diikuti oleh ledakan tawa dari orang-orang yang mengerumuninya. Akan tetapi aku tidak. Darahku terasa mendesir naik ke kepala. Jawabannya sesuai dengan jawaban tokoh khayalan dalam cerpenku.
"Kenapa kalian tertawa? Saya memang dari surga yang sengaja turun ke Yogya," katanya.
"Sudahlah, Mas. Minggir sana, jangan buat sok gila. Nanti gila betulan baru tahu rasa."
"Ini Yogya 'kan?" Pria itu kembali bertanya. Dia tidak lagi meyakinkan dirinya sungguh-sungguh dari surga. Pakaiannya dikibas-kibaskan dari debu yang melengket.
"Jangan berlagak tolol, Mas. Ya jelas ini Yogya. Tolong Mas keluar dari lapangan. Kami mau main bola," kata pemain bola berkostum hijau muda. "Sudah, sudah. Yang lain semua keluar dari lapangan!"
Semuanya bubar. Orang yang mengaku dari surga itu juga berlalu dan masih sempat diperhatikan sebagian orang kerumunan tadi, termasuk aku.
Sulit dipercaya memang, tetapi bukankah di dunia ini banyak sekali yang tidak mungkin menjadi mungkin? Tiada yang tidak mungkin, kata orang pintar! Apakah ini hanya kebetulan atau takdir Tuhan sedang berlaku? Aku sangat yakin orang yang mengaku dari surga itu tokoh utama dalam cerpenku. Dia turun ke Yogya setelah Tuhan mengizinkannya, dan akhir cerita kututup dengan tragis dia tidak bisa kembali ke surga.
"Masya Allah!" Aku terkesiap. "Apakah aku ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pahlawan membantu lelaki itu kembali ke surga?" Entah benar atau tidak, aku segera mengikutinya. Ingatanku terus mengalir. Lelaki itu bernama Puri.
Sekarang Puri masuk ke warung makan di pinggir jalan. Dia pesan seporsi nasi dengan lauk ayam tiga potong. Puri makan banyak. Setelah selesai, tanpa rasa berdosa dia keluar.
"Eh Mas, bayar dulu!" tegur wanita paruh baya, pemilik warung.
Puri melongo memandangnya. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi.
"Kenapa bayar?" tanya Puri heran.
"Ya bayar. Habis makan dibayar. Makan di sini enggak gratis."
Puri menebarkan pandangan ke sekeliling warung. Orang-orang yang sedang makan menatapnya dengan geli. Puri baru menyadari kalau dirinya sedang berada di bumi, bukan di surga yang serba gratis. Walaupun di saku baju dan celana tidak ada uang, Puri tetap merogohnya dengan setitik harapan Tuhan mengirimkan uang untuknya, namun sakunya tetap kosong. Tatapan cemasnya kembali disebarkan ke seluruh ruangan.
"Saya tidak ada uang, Bu."
"Kalau enggak punya duit kok makan? Jangan kamu pikir saya akan beri makan gratis buat kamu. Tiga potong kamu makan ayam goreng, semuanya sembilan ribu. Pokoknya harus bayar. Bagaimana caramu harus bayar, saya enggak peduli. Pinjam sama temanmu, atau siapa kek. Itu telepon di belakang boleh dipakai. Nanti sekalian dibayar juga waktu uangnya sudah diantar."
"Tapi, saya tidak ada teman di sini."
"Masa' enggak ada teman? Teman kostmu, teman kuliahmu, atau keluargamu?"
"Saya tidak punya siapa-siapa di sini."
"Lantas kamu lahir bagaimana? Apa jatuh dari langit?"
"Saya dari surga!"
Orang-orang yang sedang makan tersedak. Mau tertawa jadinya batuk-batuk.
"Jangan keburu gila, Mas. Sayang, masih muda. Tampang juga ada!"
Puri menyesal telah mengatakan dirinya dari surga. Puri garuk-garuk kepala sambil menunduk menatap sepatunya. Tiba-tiba ia mendapat ide. Segera dicopot sepatunya. Belum sempat dia utarakan maksudnya, pemilik warung sudah langsung menolak Puri membayar dengan sepatu.
"Habis bagaimana lagi? Kalau Ibu tidak terima juga, saya pasrah mau diapakan saya terima. Saya menyerah."
Ibu pemilik warung diam sebentar. Wajahnya cemberut. "Ya, sudah. Tinggalkan sepatumu!"
Kemudian Puri keluar dari warung. Orang-orang berbisik-bisik sambil geleng-geleng kepala. Gila!
Puri terus menyusuri Jalan Kaliurang dengan telanjang kaki. Dia tidak tahu harus ke mana, tetapi ketika dilihat di pinggir jalan ada sebuah masjid dia singgah di sana. Puri tidak sholat ashar, melainkan tiduran.
Aku kembali mempertanyakan buat apa aku mengintainya? Aku bukan pahlawan, melainkan hanya penonton semata. Sebenarnya saat di warung tadi aku mau menolongnya, tetapi aku sedang tidak bawa uang. Lagi pula aku tahu Puri akan bebas dari warung tersebut. Jadi keberadaanku sekarang buat apa? Ah, pusing aku memikirkannya. Atau mungkin semua ini hanya mimpi? Tidak mungkin tokoh khayalan dalam cerpenku muncul di alam nyata? Kutahu sikap pengecut lari dari kenyataan. Tetapi aku harus bagaimana lagi? Bukankah umumnya manusia jika tidak tahu harus bagaimana lagi, menganggap yang dialaminya adalah mimpi? Semuanya mimpi. Hidup di dunia pun dikatakan mimpi. Kenapa dihidupkan ke dunia, padahal tidak pernah merasa minta dihidupkan?
"Permisi, Mas!" Aku hentikan seorang lelaki pejalan kaki.
"Ada apa?"
"Tolong tinju saya."
Orang itu terpana. Mungkin menganggap permintaanku gila.
"Buat apa?"
"Pokoknya tinju saya sekuat-kuatnya. Jangan khawatir, saya tidak akan membalasnya."
Lelaki itu menyetujuinya. Lalu diambil ancang-ancang, tangan kanan dikepal kemudian dengan kuat diayunkan ke pipi kiriku. Buk!! Aku berteriak keras. Tubuhku terhuyun-huyun, sempoyongan. Toko-toko berputar dan aku tidak mampu lagi berdiri hingga akhirnya roboh. Bruk!!
Sayup-sayup kudengar suara Puri. Ada urusan apa dia?
***
Kudengar ada suara membangunkanku. Berat kelopak mata kubuka. Masya Allah, ternyata Puri. Berarti aku belum juga bangun dari mimpiku.
Puri memperkenalkan diri dan mengaku telah menolongku dari orang yang meninjuku tadi.
"Apa?!" Sungguh aku terperanjat. Terasa tersentak tubuhku ke belakang dinding masjid tempat kubersandar. Sepenuhnya diriku sadar sekarang, bahwa tokoh sampingan dalam cerpenku sedang kulakoni sendiri. Akulah pemuda yang "ditolong" Puri dalam cerpenku.
"Kenapa, apa aku salah telah menolongmu?"
"Oo…, tidak, tidak. Saya malah berterima kasih pada Mas. Oh ya, nama Mas tadi siapa?"
"Puri!" Kami saling menjabat tangan. Aku pura-pura tidak mengenal, tetapi sekaligus aku telah melakoni tokoh sampingan dalam cerpenku.
"Lazzuardi. Tapi panggil saja, Juar. Mas berasal dari mana, sepertinya bukan dari sini?"
"Sebenarnya saya berasal.…" Puri ragu-ragu mengatakannya. "Kamu pasti tidak percaya, saya sebenarnya dari surga!"
"Apa?!" Aku kembali mengejutkan diri.
"Ceritanya panjang. Sekarang kamu shalat dulu. Nanti saya ceritakan. Itu pun kalau kamu mau mendengarnya."
"Mas, tidak sholat?" tanyaku saat berdiri.
"Saya sudah masuk surga, jadi tidak perlu beribadah lagi."
Aku sudah tahu ia akan menjawab demikian.
Kemudian aku berlalu dari hadapannya dan berwudhu. Kuperhatikan di cermin wajahku terhiasi memar biru bekas tinju tadi. Nyeri saat kusentuh. Sial! Selesai berwudhu, kutunaikan sholat magrib secara berjamaah dan kemudian aku langsung keluar dari masjid, tidak mau menemui Puri.
"Hei, Juar!"
Ya, Tuhan! Dia mengikutiku. Cerita sudah agak melenceng. Dalam cerpenku akulah yang menemuinya karena terdorong oleh rasa ingin tahu mengenai dirinya yang berasal dari surga. Lalu seperti yang kuduga dia ingin ikut denganku karena malam ini dia tidak ada tempat menginap. Aku berusaha keras menolaknya hingga terjadilah dialog panjang dengannya. Aku tidak mengerti kenapa Tuhan mempertemukan aku dengannya. Akhirnya kuputuskan dia boleh ikut ke rumahku, setelah susah payah kukira dia membujukku.
Dalam perjalanan pulang aku bertanya tentang asal-usulnya untuk menghilangkan kesan aku telah mengenalnya. Aku dengarkan kisahnya seperti seorang anak yang mendengar penjelasan ayahnya.
"Saya juga heran, kenapa saya sangat ingin sekali ke Yogya, padahal di surga jauh lebih enak. Keinginan saya ke Yogya tidak dapat saya bendung, sehingga saya memohon kepada Tuhan agar dibolehkan turun ke Yogya."
Tiba-tiba aku merasa bersalah. Kupikir karena ide akulah dia turun ke Yogya.
"Eh, omong-omong wajah Tuhan bagaimana? Apa benar wajah Tuhan berjenggot, berjambang, berambut gondrong, dan hanya kelihatan kepala Tuhan saja yang besaaar sekali?"
"Astaghfirullah. Siapa bilang rupa Tuhan demikian?"
"Saya melihat wajah Tuhan di film-film."
"Tuhan yang mana?"
"Lho, memangnya Tuhan ada berapa?"
"Tiada Tuhan selain Allah dan tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya"
"Lantas rupa Tuhan bagaimana? Katanya Mas sudah berbicara dengan Tuhan. Pasti sudah lihat rupa-Nya, dong?"
"Maha Besar Allah. Tiada kata untuk melukiskan wajah-Nya."
"Bahasa Inggris juga boleh. Aiyem andersten."
"Tiada kata-kata."
"Kalau begitu bahasa Arab?"
Puri tetap menggeleng. "Tiada kata, dan tiada sesuatu pun yang ada di langit dan di bumi bisa diumpamakan dengan wajah Allah."
"Lalu bagaimana, apakah Mas tidak ada kesan apa pun saat melihat wajah-Nya?"
"Ada. Kala kupandang wajah-Nya, kenikmatan surga hilang seketika. Saya malah dilenakan dengan kenikmatan memandang wajah-Nya yang tiada tara."
Aku sudah tahu!
***
Siang itu ketika aku pulang, rumah kontrakanku sepi. Sayup-sayup kudengar desahan wanita dari kamarku. Aku langsung bisa menebak Puri sedang bercinta dengan seseorang gadis yang disangkanya bidadari surga kiriman Tuhan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya seperti yang didapatkannya di surga. Karena penasaran aku intip dari lubang pintu, siapakah gadis itu? Masya Allah! Darahku mendidih. Pintu kamar kudorong segera.
"Sarna!!!" Istri tercintaku yang pulang kampung kemarin kini kembali sudah berselingkuh.
"Hah, Mas Juar!" Sarna segera menyelimuti tubuhnya dan Puri mengambil pakaiannya. Secepat cahaya kucengkeram lehernya dan kubenturkan ke dinding. Kutonjok dia, kutinju, kubogem, kutendang dan kusentak lalu kuinjak-injak.
"Mengaku orang surga, tetapi kamu nodai istriku. Kau iblis, kepicikanmu melebihi iblis."
"Mas, Mas hentikan!"
"Kau Sarna! Harga dirimu sebagai wanita jatuh ke titik terendah, serendah-rendahnya. Kau khianati aku, suamimu. Ohh ... teganya dirimu."
Aku bersimpuh dan menangisi sialnya nasibku.
"Mas, maafkan aku. Ini hanya kecelakaan. Aku tak sadar melakukannya."
"Setan! Pergi kau dari rumahku. Detik ini pula kau kutalak tiga!"
"Mas ..."
"Pergi, pergi, kataku. Kau dengar?!!!" Suaraku memenuhi kamar. "Kau wanita busuk, busukmu melebihi bangkai. Aku muak melihat wajahmu."
Sarna pergi. Kini tinggal Puri. "Kau ..."
"Tunggu dulu, Juar. Kamu tidak boleh langsung menghukumku tanpa mendengarkan alasanku. Demi Allah, kukira Sarna adalah bidadari surga kiriman Tuhan buatku."
"Iblis! Kau masih pula mengaku orang surga. Apa kau tidak sadar juga bahwa kau sekarang hidup di bumi yang mesti makan, minum, berak, tidur, mandi dan lain-lain, serta harus melaksanakan perintah dan larangan Tuhan supaya kelak kau baru bisa masuk surga. Tapi apa yang telah kau lakukan barusan? Kau sebenarnya orang surga dunia. Dunia adalah surgamu!"
"A ... aku benar-benar orang surga turun ke bumi."
"Kau manusia pemimpi. Gila surga! Seandainya pun kau sungguh orang surga, Tuhan tidak akan mengembalikanmu ke surga. Tuhan murka melihat apa yang telah kau lakukan barusan!"
Aku menyeretnya keluar rumah. Baju dan celananya kulempar ke arahnya, lalu segera kukunci pintu rumahku. Aku melorot di sisi daun pintu sambil menangis. Aku tidak menyangka Sarna yang kuanggap istri yang baik dan sholehah melakukan perbuatan keji tersebut. Ingatanku kembali jernih dalam cerita cerpenku gadis yang bercinta dengan Puri adalah pacar si tokoh sampingan yang tergoda karena ketampanan Puri dan si tokoh sampingan itu pun marah besar mengetahui hal itu hingga diputuskan pacarnya.
Sungguh aku sama sekali tidak mengerti apa maunya Tuhan menimpakan semua ini padaku. Aku percaya setiap kejadian ada hikmahnya. Lalu apa hikmahku sekarang sampai-sampai istriku mesti kuceraikan?
Aku menuju ke kamarku dan mengambil naskah cerpen copian yang sudah lama tersimpan di laci pribadiku. Kubaca bagian penutup cerpen:
Setelah diusir dari rumah teman yang baru dikenalnya, Puri berputar-putar di kota Yogya. Puri sering duduk di emperan toko, di trotoar jalan dan di mana saja menanti keajaiban Tuhan mengembalikannnya ke surga. Dalam penantiannya ia rela tidak makan dan mandi berhari-hari, sehingga tubuhnya menjadi kerempeng, baju dan celananya kecoklatan, rambut dan bulu-bulu penuhi wajahnya yang dilapisi debu. Jika lapar menyerang, ia mengais bak sampah mencari sisa-sisa makanan lalu ia menanti kembali. Adapun orang-orang yang mau berbaik hati hendak mengembalikan Puri ke keluarganya supaya tidak lagi berada di jalanan, Puri menjawab: Tolong, kembalikan saya ke surga!
****
Yogyakarta, Februari 2001
0 Response to "Tolong, Kembalikan Saya ke Surga -- Fazil Nad"
Posting Komentar