Dikemas 25/04/2003 oleh Editor
Siang ini entah kenapa terasa begitu dingin, bersaljukah jakarta tercinta?. Dalam setiap kesempatan aku mendamba turunnya salju di kota metropolitan, semua menjadi putih. Sudirman putih, senayan putih, tanah abang putih, rumahku putih. Dan bisa kukenakan kacamata salju pemberian kawanku ini di jakarta, dan bisa kukenakan mantel bulu cantik ini di Jakarta.
Kupandangi sekali lagi kaca jendela. Semua masih sama, Jakarta tetap dalam multiwarna. hanya hujan turun begitu derasnya. Terjebak di dalam rumah, hujan ini tidak memberikan sela sedikitpun untuk melempar pandang jauh kedepan, bagaimana aku bisa berjalan?. Aku ingin berjalan.
Baiklah! aku bukan manusia kalah. Kacamata ini kupakai, mantel ini, sarung tangan, dan sepatu boot; semua kukenakan layaknya musim salju di bumi belahan utara. Kupantulkan diriku di depan cermin, ya TUHAN! seperti beruang madu berambut keriting dan buta.
TUHAN lihatlah!, Kau pasti terkecoh. Kuperbuat ini diluar jalur aturanmu, dan Kau tak bisa memahamiku. Kau turunkan hujan, badai, banjir sekalipun. Aku takkan menyerah ya TUHANKU. Kenapa bukan Kau saja yang menyerah dan berikan apa yang kumau. Aku mau melihat salju di Jakarta!
Iringi aku ya TUHAN. Kutapaki halaman rumah. Air sudah merasuki rambut dan leherku. Cepat! berjalanlah cepat. Sedikit berlari kujauhi rumahku tadi menyusuri bahu jalan yang panjang ke arah barat. Adakah dia disana? Air mencapai telapak kaki dan sekarang bahkan aku tidak bisa melihat sepatu bootku yang hitam-cantik. Kupaksa kakiku dan terseok, kemudian berhenti. Air menambah hingga lima kali berat mantel panjangku, menambah lima kali berat sepatuku, lima kali berat baju, celana, kutang, dan kancut. Sekarang apa? Kau hentikan aku dengan air ya TUHAN. Tidak! aku tidak mau pulang. Aku belum menemukannya.
Tepat seratus kaki dari peraduanku, aku berhenti, diam, berdiri, statis untuk waktu yang tidak ditentukan. Kini air sudah menenggelamkan pantat dan vagina hingga sejajar pinggang. Aku tidak bergerak, tidak bisa kugerakan badan ini, beginikah rasanya obesitas?. Kini aku seperti beruang yang menunggu ikan salmon di hulu sungai. Sepi, ditemani suara hujan. wuuusssshhhhhhh.
Badan ini terhuyung ke kiri, ke kanan, airnya bergejolak. Apa gerangan yang terjadi?. TUHAN akankah kau merobohkanku?. Dan tenggelam-mati. Robohlah aku digelayuti banjir yang semakin tinggi. Teriakku bahkan ditelan hujan. Hanya kaulah TUHAN yang mampu membawaku pulang. Aku tidak perduli pulang ke rumahku atau rumahMu. Tidak puas air menyelinap dalam pakaian dan kulit, dia juga hendak memenuhi paru-paru dan perutku. sekarang semua tampak biru-abu. Hingga...
Tunggu! ada yang datang. Kupaksa mataku untuk membuka lebar, siapa gerangan itu?. Kaukah itu TUHANKU?. Semakin dekat. Diraihnya aku dengan tenaga yang amat besar, dia laki-laki. Berarti dia bukan TUHAN. “Kau sekarang selamat beruang bodoh”, hanya teriakan inilah yang kudengar. Dan hitam.
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku mengenal ruangan ini, bukan kamar TUHANKU, in kamarku. Kenapa aku kembali, bukankah aku tidak menyerah?. Kurenungi semuanya, kenapa aku menyerah, dan melemas. Ada kertas putih lebar di atas bantal. Kusapu tulisan yang mengotori kertas itu dengan mata dan seksama. Dan... akhirnya Kau menyerah TUHAN. Baik, akan kubacakan untukMu TUHANKU.
=================================
Lain kali kalau mau bunuh diri jangan di depan mataku. Tahukah kau, aku hanya menyelamatkan beruang cantik, dan aku mengaguminya sejak lama.
Kalau sudah bisa membuka mata hubungi aku (085749794749)
Beruang Jantan
Nb: Jangan dulu mati sebelum kau menemuiku
=================================
Kudekap kertas itu, jantung ini berdegup kencang. dug..dug..dug. Segera aku melompat ke arah jendela dan kubuka lebar-lebar tirainya. Akhirnya, oh akhirnya. Akhirnya turun salju di Jakarta.
“Ya TUHAN hanya manusia yang jatuh cintalah yang dapat melihat salju di Jakarta"
0 Response to "Turun Salju Di Jakarta - Gandrasta"
Posting Komentar