Oleh Lusia Trisyanti
Penulis adalah mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur
Di keheningan malam ini aku dihimpit kenangan. Masih terdengar rintik air yang menetes di dedaunan. Tempias di jendela membawa samar bayangan di benakku. Entah asalnya dari mana, kenangan itu terlintas. Membukakan kembali satu masa dulu. Masa terindah yang pernah kulewati.
Senyum itu, mata sayu itu, dan kata-kata lembut yang tercipta darinya. Dari seorang Fadzil Muhammad. Seniorku. "Boleh kuantar sampai ke depan?" Sampai kini kata-kata itu masih tergambar jelas dalam memoriku saat kami pulang kuliah sore itu. Bagiku, pertemuan itu sungguh mengesankan.
Sejak saat itu aku menjadi secret admirer-nya. Bayangan dirinya menemani tiap waktuku. Di dalam lena dan jagaku. Apakah ini cinta? Ataukah hanya rasa kagum pada seorang insan?
Masih teringat ketika itu, aku masuk kuliah siang. Melewati area parkir mobil. Melihat mobilnya, rasa hati ini berdebar. Pura-pura lewat seraya memperbaiki dandanan rambutku, aku memandang ke kegelapan kaca mobilnya. Dia tengah berjuang keras menyelesaikan pekerjaan rumahnya di jok belakang. Aku tersenyum sendiri.
Tak terasa jarum jam telah menunjuk angka tiga. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata dan tak tebersit sama sekali rasa kantuk. Benakku mulai meniti lagi segala perjalanan yang lalu. Menerawang pikir kenangan kembali. Mengutuk diri karena telah berkata bodoh padanya.
Begitu inginnya untuk bicara dengannya. Tapi acap kali kesempatan itu datang, lidah ini kelu dan pikiran tertutup. Kenapa? Kenapa yang terucap malah kata itu?
"Mas Fadzil, ini nomor teleponku. Kalau ada pelajaran yang nggak bisa, telepon saja." Bodoh sekali. Ada banyak teman dia. Semua memandangku heran. Oh, rasa malu menderaku. Membuatku menjauh setiap kali berselisih jalan. Wajahku seperti didera ratusan jarum dan merona merah tiap kali melihatnya di kejauhan.
Bunga-bunga harapan yang dulu kutanam perlahan namun pasti tumbuh tunasnya. Meski tiap kali bertentang mata yang selalu teringat adalah kejadian memalukan itu. Kian hari kian tumbuh berkembang seiring besarnya pengharapanku bisa wisuda bersamanya. Kucoba mengambil sebanyak mungkin mata kuliah semester atas. Berusaha agar bisa sekelas terus dengan dia.
Pernah, suatu ketika aku harus berdebat dengannya di salah satu diskusi kelompok. Namun, semenjak itu, tali-tali pertemanan mulai terajut. Teman? Mungkin juga. Mungkin dia anggap aku sebagai teman. Setidaknya, tak pernah sekali pun disebutnya tentang ucapan bodohku kala itu.
Namun, kabar aku dengar, dia telah menjatuhkan hatinya pada yang lain. Jauh sebelum aku mengenalnya. Betapa hancurnya hatiku kala itu. Hempasan demi hempasan ombak menerpaku. Membuatku terjatuh.
Tapi, seiring berlalunya waktu, aku mampu menghilangkan bayangannya di ruang hatiku. Meski pedih perih teriris. Air mata selalu menetes setiap teringat hal itu. Belum pernah aku merasakan kepedihan itu. Tak terasa satu tahun sudah.
Pandanganku menyapu langit-langit dan terpaku menatap peti kecil di atas lemari. Kuambil dan kubuka. Senyumku merekah menelusuri utusan lama yang tersimpan di dalamnya.
Foto waktu wisuda setahun lalu. Kertas-kertas penuh kenangan dan…selembar foto terjatuh dari sela-selanya. Ada dia bersama para seniorku. Kupejamkan mataku. Tergambar di pelupuk mataku. Jelas, seperti baru kemarin.
"Dik, kamu tadi bawa kamera kan? Foto kita dong," pinta mbak Lina, teman mas Fadzil. Tanpa diminta dua kali dan memang seperti mendapat durian jatuh, kuambil gambar mas Fadzil dan teman-temannya.
Sayang sekali. Amat disayangkan, langkah yang kuambil terlalu jauh. Dia tertinggal di belakangku. Mungkin karena dia terlalu banyak mencurahkan perhatiannya pada yang lain atau karena aku yang terlalu keras berusaha, aku lulus duluan. "Selamat Dik. Doakan semoga aku cepat wisuda juga." Cuma itu kata-kata terakhir darinya.
Kulihat foto itu lagi. Kubalik. Di baliknya ada tulisan angka. Nomor telepon. Timbul dorongan di hatiku untuk mencoba. Mencoba, yah, meneleponnya. Tak jadi soal dia sudah berpunya. Aku datang dengan niat baik. Sebagia sahabat lama.
Terdengar panggilan adzan. Aku bangkit untuk meraih telepon di atas meja. Sesaat tanganku kaku.
Dan, dering suara telepon membuatku kaget.
Kuangkat. "Halo?"
"Halo, assalamualaikum. Eisya-nya ada? Ini Fadzil."
Suara itu…Suara itu…
0 Response to "Utusan Lama"
Posting Komentar